Bahan kimia yang ditemukan termasuk perfluoroalkyl dan polyfluoroalkyl substances (PFAS) serta bisphenol A, yang telah dilarang di banyak negara karena efeknya yang merugikan terhadap kesehatan.
PFAS dikenal luas sebagai zat yang sulit diurai dan dapat terakumulasi dalam tubuh serta lingkungan, sedangkan bisphenol A sering ditemukan dalam plastik dan dapat mengganggu sistem endokrin.
Birgit Geueke, seorang ilmuwan dari Food Packaging Forum, menekankan bahwa temuan ini menandai sebuah perhatian besar.
“Seratus dari bahan kimia yang terdeteksi sangat mengkhawatirkan, dan ini menegaskan perlunya langkah-langkah untuk melindungi kesehatan masyarakat,” ujarnya.
Penelitian ini bukan hanya menunjukkan dampak dari kemasan makanan, tetapi juga membuka diskusi tentang bagaimana bahan kimia tersebut dapat berpindah dari kemasan ke makanan yang kita konsumsi.
Para peneliti sebelumnya telah mengkatalogkan sekitar 14.000 bahan kimia yang bersentuhan dengan makanan (FCC), dan mereka terkejut menemukan bahwa sekitar 3.600 di antaranya dapat ditemukan di dalam tubuh manusia. Angka ini mewakili seperempat dari semua FCC yang diketahui.
Temuan ini menyoroti masalah transfer bahan kimia berbahaya dari kemasan ke makanan serta kemungkinan paparan di fase lain dalam proses produksi, seperti dari peralatan dapur atau conveyor belt.
Meskipun tidak semua bahan kimia yang ditemukan dapat langsung dihubungkan dengan kemasan makanan, Geueke mengidentifikasi PFAS, bisphenol A, dan ftalat sebagai “bahan kimia yang menimbulkan kekhawatiran besar.”
Bahan-bahan ini tidak hanya terkait dengan risiko kesehatan seperti gangguan kesuburan, tetapi juga dapat memicu penyakit lainnya yang lebih serius.
Geueke menjelaskan bahwa dalam konteks toksikologi, prinsip lama bahwa “racun ditentukan oleh dosis” tetap relevan, tetapi interaksi kimia antara berbagai bahan juga perlu diperhatikan.
Dalam beberapa kasus, peneliti menemukan hingga 30 jenis PFAS berbeda dalam satu sampel. Hal ini menunjukkan kompleksitas dan potensi bahaya yang ditimbulkan oleh kombinasi bahan kimia yang berbeda.
Di tengah temuan ini, Duane Mellor, seorang ahli dari Aston University yang tidak terlibat dalam penelitian ini, memberikan pandangannya.
Ia memuji akurasi dan kedalaman studi tersebut, tetapi menyoroti kurangnya data mengenai jumlah bahan kimia yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
“Alih-alih terjebak dalam kepanikan, kita harus menuntut data yang lebih baik dan berusaha untuk meminimalkan paparan terhadap bahan kimia yang berpotensi berbahaya,” ungkapnya.
Respons terhadap temuan ini juga datang dari Uni Eropa, yang telah mulai mengambil tindakan terhadap bahan kimia berbahaya.
Mereka sedang dalam proses melarang PFAS dalam kemasan makanan dan mengusulkan pelarangan bisphenol A mulai akhir tahun ini.
Ini adalah langkah positif yang diharapkan dapat melindungi konsumen dan meminimalkan risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh bahan kimia dalam makanan.
Namun, pertanyaan besar tetap ada: Tindakan apa yang seharusnya diambil oleh konsumen untuk melindungi diri mereka sendiri dari paparan bahan kimia berbahaya ini? Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah mengurangi penggunaan produk kemasan sekali pakai.
Penggunaan wadah makanan yang aman dan ramah lingkungan, seperti kaca atau stainless steel, dapat membantu mengurangi risiko paparan bahan kimia. Selain itu, penting untuk memeriksa label produk dan memilih makanan yang dikemas dengan aman.
Geueke juga merekomendasikan agar konsumen menghindari pemanasan makanan dalam kemasan aslinya. “Ketika makanan dipanaskan dalam kemasan, ada kemungkinan bahan kimia dapat larut dan berpindah ke dalam makanan,” jelasnya. Menggunakan piring atau wadah lain untuk memanaskan makanan adalah pilihan yang lebih aman.
Secara keseluruhan, temuan ini merupakan pengingat penting bahwa meskipun kemasan makanan sering kali dianggap aman, ada risiko yang tidak boleh diabaikan.
Dengan lebih dari 3.600 bahan kimia yang terdeteksi dalam tubuh manusia, sangat penting bagi kita untuk menyadari sumber paparan ini dan mengambil langkah proaktif untuk melindungi kesehatan kita dan keluarga.
Melalui tindakan kolektif, baik dari pemerintah maupun masyarakat, kita dapat mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bahan kimia berbahaya dalam makanan.